Nia dan Si Kucing Kembang Dua Warna


Di pinggiran pasar kecil Kota Malang, hiduplah Nia, gadis cilik berusia 8 tahun yang suka menyimpan serpihan roti di saku jaketnya. Suatu sore, saat pulang les matematika, ia melihat seekor kucing belang cokelat-putih—dengan ekor bengkok seperti tanda tanya—mengendus-endus sampah dekat warung bakso. Perutnya keroncongan, tapi Nia hanya punya sepotong risoles sisa bekal. "Dikit nggak cukup buat dia," pikirnya ragu.

Keesokan hari, Nia membawa dua risoles. Kucing itu masih di sana, kali ini sedang dijauhi anak-anak yang melempar kerikil. "Jangan ganggu dia!" teriak Nia, lalu meletakkan risoles di atas daun pisang. Kucing itu mendekat pelan, mengeong lembut sebelum melahap makanannya.

Minggu berikutnya, Nia mulai menyisihkan sebagian uang jajan untuk beli ikan asin di warung Bu Tini. "Bu, ini buat kucing jalanan," katanya malu-malu. Bu Tini tersenyum, memberinya ekstra kepala ikan. "Dulu saya juga suka kasih makan kucing kampung," bisiknya.

Suatu hari hujan deras, Nia mencari si kucing belang ke mana-mana. Di belakang musala tua, ia menemukannya basah kuyup, kaki belakang terluka. Dengan bantuan Pak RT, Nia membawanya ke klinik hewan. "Kamu harus rawat lukanya tiap hari," kata dokter. Nia mengangguk, memeluk kucing yang kini ia panggil Kembang.

Sejak itu, Kembang jadi penghuni tetap teras rumah Nia. Tapi Nia tak mau mengurungnya. "Dia suka jalan-jalan, Bu," katanya pada ibunya. Kini, tiap pagi, anak-anak sekitar ikut menaruh mangkuk berisi nasi dan ikan untuk Kembang. Dan kadang, di malam hari, Nia masih menyelipkan risoles ke saku jaketnya—siapa tahu ada kucing lain yang kelaparan.

Nia dan Si Kucing Kembang Dua Warna | Narra Kids