Kisah Doyan Nada dan Permulaan Manusia di Pulau Lombok

Dahulu kala, ketika kabut masih sering menyelimuti puncak Rinjani yang agung, Pulau Lombok adalah permadani hijau zamrud yang terbentang luas, sebuah surga hutan belantara yang belum tersentuh jejak kaki manusia. Udara dipenuhi aroma bunga kamboja dan melati hutan, dan satu-satunya musik adalah desau angin di antara dedaunan pohon beringin raksasa, gemericik air sungai yang jernih, serta panggilan burung-burung eksotis. Pulau ini bukanlah tanpa penghuni; ia adalah kerajaan gaib yang damai, dipimpin oleh seorang ratu jin yang bijaksana dan anggun bernama Dewi Anjani. Kerajaannya tersembunyi di balik tirai air terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep, dihuni oleh ribuan jin yang hidup selaras dengan alam.

Dewi Anjani memerintah dengan kelembutan dan kekuatan yang setara. Sosoknya sering terlihat berjalan di bawah sinar bulan keperakan, jubahnya berkilauan seperti sayap kupu-kupu di siang yang indah. Di sisinya selalu ada Patih Songan, penasihatnya yang setia, sosok jin tua dengan janggut panjang seputih kapas, matanya memancarkan kearifan zaman. Tak ketinggalan Beberi, burung kesayangan sang Ratu, dengan bulu berwarna pelangi yang bisa menirukan suara angin dan nyanyian ombak. Beberi sering bertengger di bahu Dewi Anjani, membisikkan kabar dari penjuru pulau.
Suatu senja, ketika langit dilukis dengan warna jingga dan ungu, Patih Songan menghadap Sang Ratu dengan raut wajah serius namun penuh hormat. Ia duduk bersila di atas permadani lumut tebal di balairung istana gaib mereka. "Duh, Ratu Agung," Patih Songan memulai, suaranya lembut seperti gemerisik daun kering, "Hamba telah merenung lama. Hutan Lombok ini begitu subur, sungainya begitu melimpah. Mungkin sudah tiba waktunya pulau ini mengenal denyut kehidupan baru, tawa riang, dan cerita-cerita yang ditenun oleh tangan manusia."
Dewi Anjani terdiam sejenak, matanya menatap ke kejauhan, seolah berkonsultasi dengan roh-roh gunung dan lautan. Beberi berkicau pelan di telinganya. Sang Ratu tersenyum lembut. "Patihku yang bijak, aku merasakan getaran yang sama di udara. Alam merindukan sentuhan yang berbeda. Baiklah, mari kita wujudkan saranmu. Pulau ini siap menyambut anak-anak manusia."

Dengan isyarat anggun, Dewi Anjani memanggil sepuluh pasang jin terpilih dari pengawalnya. Mereka berdiri tegak, cahaya gaib mengelilingi tubuh mereka. Sang Ratu mengangkat tangannya, dan dari ujung jarinya mengalir sinar lembut keemasan yang menyelimuti kesepuluh pasang jin tersebut. Dalam sekejap mata, cahaya gaib itu meredup, dan di tempat para jin tadi berdiri, kini tampak dua puluh sosok manusia, laki-laki dan perempuan, dengan mata penuh keheranan menatap tangan dan kaki mereka sendiri, merasakan hangatnya darah mengalir di nadi untuk pertama kalinya.
Dewi Anjani mendekati mereka, senyumnya menenangkan. "Kalian adalah benih pertama," katanya, suaranya seperti musik gamelan yang menenangkan. "Aku memilih salah satu di antara kalian," ia menunjuk seorang pria yang tampak paling tegap dan bijaksana, "untuk menjadi pemimpin, kepala suku bagi saudara-saudaramu. Bangunlah kehidupan yang harmonis di tanah ini, jagalah kelestariannya seperti kalian menjaga diri sendiri."

Dipimpin oleh kepala suku yang baru diangkat, kelompok manusia pertama itu turun dari alam gaib menuju lembah yang subur. Dengan semangat *gotong royong*, mereka mulai membangun perkampungan sederhana dari bambu dan atap ilalang. Mereka belajar membuka lahan dengan hormat, meminta izin pada penunggu hutan sebelum menebang pohon, dan menanam umbi-umbian serta padi yang menjadi sumber pangan mereka. Kehidupan baru mulai bersemi di bawah naungan pepohonan rindang.
Beberapa purnama berlalu, kabar gembira menyelimuti kampung kecil itu. Istri sang kepala suku tengah mengandung anak pertama mereka, buah hati yang akan menjadi manusia pertama yang lahir murni di tanah Lombok.

Seluruh kampung menanti dengan penuh harap. Ketika saatnya tiba, diiringi nyanyian lembut para ibu dan doa restu dari para tetua, lahirlah seorang bayi laki-laki yang membawa keajaiban.
Bayi itu, begitu keluar dari rahim ibunya, tidak menangis seperti bayi biasa. Ia membuka matanya yang lebar dan bening, lalu dengan gerakan yang mengejutkan, ia langsung mencoba berdiri di atas kakinya sendiri! Tak hanya itu, ia mulai mengoceh kata-kata yang jelas, seolah sudah lama ingin berbicara. Seluruh kampung terheran-heran, melihatnya sebagai pertanda berkah luar biasa dari Dewi Anjani.
Keajaiban tidak berhenti di situ. Bayi ini memiliki nafsu makan yang tak terbayangkan. Nasi setampah bisa habis dalam sekejap, lauk pauk sebanyak apapun ludes dilahapnya. Ia makan dengan riang, seolah perutnya adalah gua tak berdasar. Melihat betapa lahapnya ia makan, orang tuanya dan warga kampung memberinya julukan sayang: Doyan Nada, yang dalam bahasa setempat berarti "Si Suka Makan" atau "Si Lahap".

Waktu bergulir, musim berganti. Doyan Nada tumbuh menjadi anak laki-laki yang luar biasa besar dan kuat untuk usianya. Namun, seiring pertumbuhannya, nafsu makannya pun ikut membengkak. Gunung nasi kini benar-benar seperti bukit kecil, sungai kuah sayur tak pernah cukup. Lumbung padi kampung mulai menipis lebih cepat dari biasanya. Kedua orang tuanya, sang kepala suku dan istrinya, mulai merasa cemas dan kewalahan. Warga kampung pun mulai berbisik-bisik, khawatir akan masa depan persediaan pangan mereka.
Sang kepala suku, sebagai pemimpin, merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup seluruh warganya. Dengan berat hati, ia mengumpulkan para tetua. Bukan niat jahat yang ada di hatinya, melainkan keputusasaan. "Anakku adalah berkah, namun nafsu makannya kini menjadi beban bagi kita semua," keluhnya. "Mungkin... mungkin kita harus meminta Dewi Anjani mengambil kembali sebagian 'keajaiban' ini, atau... mungkin Doyan Nada harus mencari jalannya sendiri di dunia yang luas ini, mencari sumber makanannya yang tak terbatas di luar sana."
Percakapan pilu itu tak sengaja terdengar oleh sang ibu. Hatinya hancur membayangkan putranya harus pergi, namun ia tahu ini mungkin jalan terbaik agar Doyan Nada bisa hidup dan kampungnya selamat. Malam itu, dengan air mata berlinang, ia membangunkan Doyan Nada. "Anakku sayang," bisiknya lembut sambil memeluk erat putranya yang sudah sebesar remaja itu, "Kampung ini terlalu kecil untuk semangatmu yang besar. Pergilah mengembara, lihatlah dunia. Ibu membekalimu beberapa potong dendeng rusa ini. Carilah takdirmu, Nak. Mungkin di luar sana ada tempat di mana kelebihanmu bukanlah beban, melainkan anugerah."

Keesokan paginya, dengan hati campur aduk antara sedih dan semangat petualangan, Doyan Nada melambaikan tangan pada ibunya. Ia melangkah meninggalkan satu-satunya rumah yang ia kenal, hanya berbekal dendeng pemberian ibunya dan keberanian di hatinya. Ia berjalan menyusuri pantai berpasir putih, mendaki bukit-bukit hijau, dan menyeberangi sungai-sungai yang airnya bernyanyi.

Dalam perjalanannya yang jauh, melewati hutan lebat yang dihuni kera dan rusa, Doyan Nada bertemu dengan dua sosok pertapa yang tengah bermeditasi di bawah pohon beringin kuno yang akarnya menjuntai seperti janggut raksasa. Mereka adalah Tameng Muter, yang konon bisa memutar perisai gaib untuk menahan serangan apapun, dan Sigar Penjalin, yang kesaktiannya mampu membelah rotan dengan tatapan mata. Kedua pertapa bijak ini merasakan aura unik yang terpancar dari Doyan Nada. Setelah mendengar kisahnya, mereka memutuskan untuk menjadi sahabat dan menemaninya dalam pengembaraan, melihat potensi besar dalam diri pemuda itu.
Suatu hari, setelah berjalan berhari-hari, ketiganya merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat di sebuah padang rumput luas dekat tebing-tebing karang di daerah Sekaroh. Doyan Nada, karena tenaganya yang besar, tertidur paling pulas.

Saat itulah, dari balik sebuah batu besar, muncul sesosok raksasa bernama Limandaru. Ia tidak tampak jahat, lebih seperti makhluk besar yang kikuk dan kesepian, perutnya keroncongan. Mencium aroma dendeng yang lezat dari buntalan Doyan Nada, Limandaru tak kuasa menahan diri dan dengan hati-hati mengambil bekal itu, lalu bergegas kembali ke guanya.
Ketika Doyan Nada terbangun dan mendapati bekalnya hilang, ia sangat kecewa. Tameng Muter dan Sigar Penjalin melihat jejak kaki raksasa yang jelas di tanah. "Jangan khawatir, Sahabatku," kata Tameng Muter. "Kita akan mencari tahu siapa yang mengambilnya." Mereka mengikuti jejak itu hingga sampai di mulut sebuah gua besar yang tersembunyi di balik air terjun kecil.
Di dalam gua, mereka menemukan Limandaru yang tengah mencoba membuka bungkusan dendeng dengan jari-jarinya yang besar. Melihat kedatangan mereka, Limandaru tampak terkejut dan sedikit takut. Doyan Nada, alih-alih marah, teringat pesan ibunya tentang kebaikan hati. "Wahai Raksasa," kata Doyan Nada dengan suara tenang namun lantang. "Kami tidak ingin bertarung. Bekal itu memang milikku, tapi sepertinya kau sangat lapar. Mengapa kau sendirian di sini?"
Limandaru terkejut mendengar nada bicara Doyan Nada yang tidak mengancam. Dengan suara bergemuruh seperti guntur jauh, ia menjawab, "Aku... aku hanya kesepian. Dan lapar. Bau dendeng itu sungguh menggoda." Ternyata, di sudut lain gua, ada tiga orang putri cantik yang duduk dengan muram. Mereka bukanlah tawanan dalam arti disakiti, melainkan 'tamu' yang ditemukan Limandaru saat tersesat dan ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikan mereka pulang, sehingga ia menjaga mereka di guanya.
Doyan Nada tersenyum. "Kami bisa membantumu, Raksasa. Mungkin jika kau tidak kesepian lagi, kau tidak perlu mengambil barang orang lain." Doyan Nada kemudian berbagi sisa dendeng yang masih ada di kantong sahabatnya dengan Limandaru. Sang Raksasa makan dengan lahap, matanya berkaca-kaca karena kebaikan yang tak terduga itu. Sebagai ucapan terima kasih, Limandaru berjanji tidak akan mengganggu siapapun lagi dan menunjukkan jalan keluar dari wilayah Sekaroh.
Ketiga putri itu pun akhirnya bebas. Mereka memperkenalkan diri; yang pertama berasal dari Madura, yang kedua dari Majapahit yang agung, dan yang ketiga dari Mataram yang makmur. Mereka sangat berterima kasih kepada Doyan Nada dan kedua sahabatnya. Dalam perjalanan kembali, benih-benih cinta mulai tumbuh.

Akhirnya, Doyan Nada, yang hatinya terpikat oleh keanggunan dan kecerdasan putri dari Majapahit, memutuskan untuk mempersuntingnya. Tameng Muter menemukan jodohnya pada putri dari Mataram, sementara Sigar Penjalin berbahagia bersama putri dari Madura. Pernikahan mereka dirayakan dengan sederhana namun penuh syukur, menjadi simbol persatuan berbagai suku dan awal dari babak baru bagi masyarakat di Pulau Lombok, yang kini semakin ramai dan berwarna oleh keturunan mereka. Doyan Nada, si anak ajaib dengan nafsu makan besar, kini telah menemukan takdirnya, bukan hanya sebagai pemuda kuat, tapi sebagai sosok pemersatu dan pembawa kebahagiaan. Dan Pulau Lombok, di bawah restu Dewi Anjani, terus berkembang, menyimpan kisah ini dalam bisikan angin laut dan gemerisik daun lontarnya.