Kebun Buah Kilaun

Di sebuah lembah tersembunyi di antara dua gunung yang selalu diselimuti kabut, hiduplah seekor landak kecil bernama Pippin. Bulu-bulunya yang tajam seringkali dipenuhi lumut, dan kakinya selalu berdebu karena gemar menggali. Tapi harta terbesarnya adalah Kebun Buah Kilaun—tempat rahasia di mana semak-semak tumbuh dengan buah-buahan yang berkilauan seperti bintang terjebak di bumi. Setiap buah akan berdengung lembut jika disentuh, dan Pippin menjaganya dengan ketat, hanya memakannya diam-diam.

Suatu pagi, Pippin melihat buah-buah itu berhenti bersinar. Cahayanya redup seperti kunang-kunang kelelahan, dan dengungannya berubah jadi rengekan sedih. Pippin mencoba segalanya: menyirami semak dengan embun, menyanyikan lagu pengantar tidur, bahkan mengubur kerikil kesayangannya di dekat kebun. Tapi semak-semak itu semakin layu, daunnya mengerut seperti kertas terbuang.
Hari-hari berlalu, udara di lembah menjadi dingin. Para hewan lain—keluarga tupai, burung jay biru yang cerewet, bahkan siput pemalu—mulai menggigil. Persediaan makanan mereka habis, dan rumput-rumput yang membeku tak bisa diandalkan. Pippin mengintip dari semak durinya, menggenggam erat buah Kilaun terakhir yang sudah kusam.

Tiba-tiba, seekor burung hantu berbulu keperakan mendarat di sampingnya, sayapnya berdekorasi kristal es. Tanpa sepatah kata, burung itu menoleh ke arah kebun, lalu menghilang dalam sinar bulan.
Pippin pun berjalan lambat ke semak-semak yang tak bernyawa. Ia teringat, dulu buah Kilaun pernah bersinar terang saat tak sengaja ia jatuhkan di dekat seekor tikus yang kehausan. Dengan ragu, ia meletakkan buah terakhirnya di atas batu datar. Buah itu berdenyut lemah. Seketika, burung jay biru meluncur, menjatuhkan biji ek di sebelahnya. Keluarga tupai menambahkan biji bergaris, siput menggelindingkan setetes embun, dan perlahan... buah Kilaun itu mulai berpendar!

Saat fajar menyingsing, kebun itu kembali hidup. Buah-buahan baru bermunculan, lebih berkilau dari sebelumnya, dengungan mereka menyatu menjadi lagu yang mencairkan udara dingin. Pippin tersenyum. Ia kini paham: buah Kilaun bersinar bukan saat disembunyikan, tapi saat dibagi. Sejak itu, tiap pagi ia menggelindingkan buah-buahan ke batu itu, dan para hewan pun datang bergantian—meninggalkan hadiah kecil: kerucut pinus, bulu indah, atau batu halus. Kebun itu pun berkembang, menyebarkan keajaibannya lewat hati yang terbuka.